Keterbukaan Parlemen Beri Akses Partisipasi Publik
Inspektur Utama DPR RI Setyanta Nugraha. Foto: Azka/od
Implementasi open parliament atau keterbukaan parlemen tidak hanya sekedar bertujuan untuk menyediakan data dan informasi, tetapi juga memberikan akses kepada masyarakat agar bisa menyampaikan aspirasi, pengaduan, dan juga partisipasi publik. Terutama yang berkaitan dengan pembahasan suatu rancangan undang-undang kepada masyarakat.
Demikian hal tersebut dikatakan Inspektur Utama DPR RI Setyanta Nugraha dalam lokakarya yang mengangkat tema 'Penyusunan Kerangka Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Keterbukaan Parlemen DPR RI', yang diselenggarakan Inspektorat Utama DPR RI di Kota Tangerang, Banten. “Dengan begitu nantinya masyarakat akan lebih mudah mengakses berbagai data dan informasi yang ingin diketahui nya,” ucap Totok, sapaan akrabnya, Jumat (23/8/2019).
Totok menyampaikan, lokakarya atau workshop yang diselenggarakan oleh Ittama DPR RI yang bekerjasama dengan The Westminster Foundation for Democracy (WFD) yakni sebuah lembaga publik independen Kerajaan Inggris, merupakan kelanjutan dari workshop yang telah dilakukan 6 bulan yang lalu, yang terkait dengan open parliament. “Saat ini kita coba meng-cover berbagai stakeholder yang ada kaitannya dengan pelaksanaan atau implementasi dari kegiatan keterbukaan parlemen ini," tuturnya.
Selain dari Ittama DPR RI sebagai leading sector di dalam melaksanakan monitoring dan evaluasi keterbukaan parlemen, sambung Totok, ada pejabat dari unit kerja lain yang juga masuk di dalam penanggung jawab lima rencana aksi maupun aktor yang melaksanakan implementasi dari 5 rencana aksi itu di berbagai unit kerja dan bagian. WFD memberikan dukungan terhadap DPR RI agar dapat menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan secara transparan dan akuntabel.
Terkait dengan hal ini, Pimpinan DPR RI memiliki komitmen yang tinggi terhadap transparansi dan akuntabilitas lembaga legislatif tersebut. Komitmen tersebut dibuktikan dengan membuat deklarasi “Keterbukaan Parlemen” pada tanggal 29 Agustus 2018 lalu. Keterbukaan parlemen merupakan bagian dari Open Government Partnership (OGP) bertujuan membuat pemerintah lebih inklusif, responsif dan akuntabel.
“Menindaklanjuti deklarasi keterbukaan parlemen tersebut, DPR telah menyusun Rencana Aksi Nasional Keterbukaan Parlemen untuk 2019-2020 dengan lima komitmen, yaitu peningkatan kualitas tata kelola data dan pelayanan informasi legislasi, peningkatan penggunaan teknologi informasi parlemen, penguatan keterbukaan informasi publik DPR RI, penyusunan peta jalan (roadmap) Open Parliament Indonesia, dan penyusunan kelembagaan Open Parliament Indonesia," paparnya.
Totok menegaskan, dari workshop ini diharapkan nantinya akan ada sharing pemikiran untuk membantu merumuskan tools monitoring dan evaluasi. “Salah satu tugas dari Ittama adalah monev (monitoring dan evaluasi). Pada evaluasi inilah peran Ittama dalam ranah open parliament. Karena kegiatan open parliament ini sudah disusun rencana aksinya, bahkan sudah ada penanggung jawab komitmen dari 5 rencana aksi itu, termasuk unit-unit dan pejabat-pejabat terkait sebagai aktor yang melaksanakan kegiatan open parliament," ungkap Totok.
Dikatakannya, dari 5 rencana aksi itu, posisi Ittama DPR RI adalah sebagai monitoring dan evaluasi. Itulah kenapa Ittama masuk di dalam kegiatan open parliament. "Masukkan dari saya adalah kelembagaan monitoring dan evaluasi ini memang semestinya berada diseluruh rencana aksi. Karena sekarang ini hanya tercantum dalam komitmen lima yaitu pembentukan kelembagaan open parliament," ujar Totok.
Menurutnya, kegiatan monitoring dan evaluasi itu seharusnya ada disetiap komitmen. Karena kegiatan monitoring adalah kegiatan dimana Ittama DPR RI akan turun melihat di lapangan ketika kegiatan itu sedang dijalankan. “Dimonitor apakah kegiatan-kegiatan yang sedang dijalankan itu telah sesuai dengan yang direncanakan,” imbuhnya.
Totok berharap, dari workshop tersebut nantinya juga akan dapat dirumuskan suatu panduan pedoman didalam melakukan monitoring dan evaluasi. Panduan itu setidaknya bisa disesuaikan dan disetarakan dengan standar internasional. “Pada akhir kegiatan ini akan ada dua legal standing yang dihasilkan, yang pertama yaitu Surat Keputusan (SK) Sekjen tentang implementasi keterbukaan parlemen. Dan yang kedua, terbentuknya tim monitoring dan evaluasi,” jelasnya.
Totok menyatakan, ke depannya akan ada dua produk hukum yang secara legal berfungsi untuk memayungi dua kegiatan. Satu sisi untuk implementasi keterbukaan parlemen, dan di sisi lain ada tim monitoring dan evaluasi. “Di situlah nantinya akan dirumuskan apa yang menjadi tugas-tugas dari keduanya. Hal yang mungkin bisa saya garisbawahi, sebetulnya kita akan bekerja, setelah memiliki tools atau alat untuk melakukan monitoring dan evaluasi," pungkasnya. (dep/sf)